Sebuah Refleksi untuk Mengenal Jatidiri HKBP
Penetapan tema Jubileum 150 tahun HKBP
dengan judul “Mengembalikan Jati diri HKBP” dapat menjadi sebuah perdebatan dan
dapat juga mendatangkan kontroversi di antara warga HKBP. Dari segi etimologi
nama HKBP adalah Huria Kristen Batak Protestan yang dapat diterjemahkan dengan
Persekutuan Kristen Batak Protestan. Sementara ada orang yang mengaitkan HKBP
itu dengan inisial 4 orang pendeta yang mendeklarasikan berdirinya HKBP itu tgl
7 Oktober 1861, yaitu (H)eine, (K)lammer, (B)etz, dan V(P)an Aselt yang dari
kesemuanya itu tidak seorangpun yang merupakan orang Batak, mereka semua adalah
orang Barat (Sibontar mata).
Ada juga yang menyatakan bahwa Hari
Kelahiran HKBP sebenarnya adalah pada 31 Maret, mengingat hari itulah
dibabtiskan 2 orang Batak yaitu SIMON Siregar dan JAKOBUS Tampubolon oleh Pdt
G. Van Asselt. Kalau mengambil nama dari 2 orang Batak Pertama yang menjadi
Kristen atau yang pertama kali menerima babtisan tersebut: dapat dipastikan
bahwa kedua nama itu bukan nama yang asli, dan kita telah kehilangan
kepustakaan siapa sebenarnya nama asli kedua orang itu. Lihatlah betapa kita
sangat mudah kehilangan, bukankah kedua nama (asli) kedua orang itu merupakan identitas
yang pantas diabadikan dalam sejarah awal HKBP, atau kalau nama asli kedua
orang itu adalah SAOR dan JABAIK maka HKBP dapat diusulkan diganti menjadi
HURIA SAOR JABAIK sehingga HKBP hanya berisi orang Batak yang baik-baik saja.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan
bahwa mengembalikan jati diri HKBP berarti mengembailkan orang-orang anggota
HKBP menjadi orang-orang yang baik. Dengan demikian dengan mudah orang mengenal
citra atau ciri khas orang-orang HKBP yaitu orang-orang yang baik. Kalau sudah
begitu di manapun dan kemanapun HKBP berada dan pergi dia pasti disukai orang
banyak dan menjadi berkat bagi orang lain.
BAGAIMANA
SEBENARNYA PERJUMPAAN INJIL DAN ADAT BATAK
Banyak sudah kupasan dan ulasan tentang
bagaimana perjumpaan Injil dan Budaya di tanah Batak. Diantaranya buku ADAT BATAK DAN INJIL karangan Lothar
Scheiner. Namun masih belum menuntaskan bagaimana pertemuan antara Injil itu
dengan adat Batak. Apakah merupakan perjumpaan yang damai atau juga dibarengi
penolakan, apakah sebuah pertemuan yang manis, atau juga dengan pertempuran yang
dahsyat.
Untuk itu kita perlu mempelajari buku
karangan Richard Niebuhr yang berjudul CHRIST
AND CULTURE yang menyimpulkan ada 5 bentuk hubungan antara Gereja dan kebudayaan
atau antara Injil dan kebudayaan. Tentu dengan menganalogikan Kristus sama
dengan gereja atau Injil, dan budaya sama dengan adat.
1. Injil/gereja menentang kebudayaan, dalam
bentuk hubungan ini gereja memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang buruk dan
merupakan produk keberhalaan, sehingga gereja berada pada posisi diametris
berlawanan dengan adat dan kebudayaan..
2. Gereja/Injil hidup di dalam dan menyatu
atau larut dengan adat/kebudayaan.
Dalam hubungan ini gereja memandang
kebudayaan itu cukup baik, oleh karena itu gereja tidak perlu menentang
kebudayaan malah sebaliknya gereja harus mendukungnya. Dalam keadaan seperti
ini gereja kehilangan misi dan jati dirinya. Hal ini dapat dibandingkan dengan
dengan pengalaman Albert Kruyt di pedalaman Sulawesi yang selama bertahun-tahun
enggan membabtis orang pribumi yang dilihatnya hidup dalam persekutuan komunal
yang sangat baik dan kuat.
3. Gereja atau Injil berada di atas adat/kebudayaan.
Dalam hubungan ini gereja berada pada posisi superior terhadap adat dan
kebudayaan, kalau perlu adat dan kebudayaan itu “dibuldoser” saja.
4. Gereja/Injil hidup dalam hubungan
paradoksal dengan adat/kebudayaan. Dalam pandangan ini gereja dan adat berjalan
sendiri-sendiri dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda. Jadi tidak ada titik
temu karena masing-masing hidup dengan aturan dan hukumnya sendiri-sendiri.
5. Gereja/Injil mentranformasikan adat/kebudayaan.
Dalam hubungan ini gereja dan adat/kebudayaan itu memang tidak bisa dipisahkan
dan demikian juga dalam dalam kehidupan orang Kristen, tetapi pada saat pertemuan
Injil dengan adat dan kebudayaan itu, Injil harus berfungsi melakukan
transformasi, melakukan perubahan atau pembaharuan, sehingga mengalami
peningkatan kualitas yang baru.
“KRISIS
IMAN“ DI HKBP.
Apa yang disimpulkan oleh Richard
Neibuhr di atas, semuanya terjadi dalam pertumbuhan dan pengalaman HKBP sampai
masa kini, terkait dengan perilaku yang terjadi dalam hubungan antara gereja
dan adat-kebudayaan. Bahkan dalam perjalanannya pernah disimpulkan bahwa ada
yang salah dalam sikap gereja terhadap adat yang pada perjumpaannya bersifat
menentang budaya secara diametris sehingga budaya orang Batak terkikis dan
orang Kristen Batak kehilangan jati dirinya. Hal ini terjadi karena secara umum
umat HKBP dipandang kurang atau sangat kurang menghayati Injil, yang terbukti
dari sikap hidup yang masih didominasi perilaku keberhalaan, yaitu hosom, teal,
late, hidup dalam perbantah-bantahan (konflik) yang laten seperti tidak ada
akhirnya. Sehingga saat itu disepakati melaksanakan ibadah dengan kembali pada cara
ritual nenek moyang yang waktu itu disebut “Theologia in Loco”. Tapi ternyata
setelah dipilot-proyekkan mengalami kegagalan dan harus dihentikan karena bukan
menjadi jawaban atas persoalan krisis iman itu. Dengan kata lain “krisis iman”
di kalangan HKBP bukan pada bentuk ritualnya.
Kalau dihubungkan dengan hasil
penelitian Rihard Neibuhr itu yang kurang dalam pertemuan Injil dan adat di
tanah Batak adalah kurang terjadinya tranformasi nilai dalam sikap hidup dan
perilaku.
JATI
DIRI HKBP BERADA ANTARA NOMMENSEN DAN SISINGAMANGARAJA
Tidak dapat disangkal bahwa bahwa tokoh
sentral dalam sejarah perjumpaan antara Injil dan adat di tanah Batak adalah
Nommensen dan Sisingamangaraja, yang satu digelari sebagai “Rasul” bagi orang
Batak, dan mengabdi di tanah Batak sampai akhir hidupnya dan yang satu memiliki
kharisma spiritual, gugur di tangan tentara penjajah Belanda dan setelah
merdeka dianugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.
Ada orang yang beranggapan bahwa setelah
peristiwa yang paling dahsyat dalam sejarah HKBP yang terjadi pada pergolakan tahun
1992 -1998, para pemuka dan warga HKBP sudah kapok, sudah jera, atau secara
bahasa teologianya sudah bertobat. Itu masih harus diuji supaya kita tidak
lengah dan terantuk lagi untuk kesekian kalinya kepada batu yang sama.
Tapi yang jelas bahwa dalam diri HKBP
sebagai intitusi gereja atau dalam diri umat HKBP terlihat belum selesai
pergolakan menemukan jati dirinya seperti belum terselesaikannya konflik antara
kedua tokoh sentral itu yaitu Nommensen dan Sisingamangaraja. Walaupun kedua
tokoh ini tidak langsung berkonfrontasi, tetapi secara terselubung konflik
antara keduanya menjadi gambaran masalah perjumpaan Injil dan adat Batak.
Keadaan ini dapat ditelusuri dengan jelas pada buku karangan Prof. Dr.
W.B.Sijabat yang berjudul “AHU SISINGAMANGARAJA”.
Ternyata perjumpaan ini bukan perjumpaan
yang lunak dan manis saja, di sana ada kekerasan, di sana ada penolakan, di
sana ada konflik. Sebab sedikitnya tercatat korban pembunuhan terhadap Pdt.
Munson dan Lyman yang diberitakan “dimakan “ oleh orang Batak. Bahkan
Nommensenpun hampir saja menjadi tumbal karena dipandang membawa malapetaka.
Dan tidak lepas dari pergolakan itu adalah korban Sisingamangaraja yang menjadi
tumbal kemerdekaan Republik Indonesia.
Kalau kami mengatakan bahwa jati diri
HKBP berada diantara Nommensen dan Sisingamangaraja ini, tentu tidak berada
pada status quo, hal ini tetap dalam poerkembangan yang progressif yang akan
diselesaikan oleh sejauh mana Injil itu mentransormasikan adat dan kebudayaan.
Oleh karena itu Gereja tidak boleh berada dalam kemandegan, dia harus berada
dalam posisi dan kondisi proses pembaharuan terus-menerus seperti semboyan
reformasi yang berbunyi “Ekklesia Reformata, Ekklesia Semper reformanda”. Yang
artinya “Gereja reformasi harus senantiasa terus menerus mereformasi diri”,
tentu menuju kesempurnaan Kristus.
Patutlah kiranya hal ini menjadi acuan
dalam segala bentuk kegiatan atau perayaan Jubileum 150 tahun HKBP. Jangan
sampai kita terjebak pada semboyan yang kosong karena dalam pelaksanaannya
tidak diimplementasikan.
Selamat
berjubileum!
Ditulis khusus buat Buletin NHKBP
“CONCIENTIA” oleh St.L.H.Simanjuntak, Mantan Guru Huria HKBP Yogyakarta/Sekum
PGI Wilayah D.I.Y/Wakil Ketua FKUB Prov.DIY.
Dapat dibaca kembali pada buletin Conscientia HKBP Yogya edisi Mei 2011.
injil tidak pernah menentang kebudayaan, tapi memberi pengertian tentang budaya yang kita ikuti..
ReplyDeleteinjil tidak pernah menentang kebudayaan, tapi memberi pengertian tentang budaya yang kita ikuti.
ReplyDeleteHuria kristen batak protestan
ReplyDeleteInjil tidak pernah menjajah dan menyuruh nomensen bekerja sama dengan belanda.CAM KAN ITU!!! Bahkan Nomensen n Belanda bekerjasama pd saat itu untk melakukan pembantaian di tanah batak.Serta melakukan penjajahan di tanah batak. Jngn kau sebut namamu Batak saat kau memuja prng asing yg menindas orang batak.
ReplyDeletePandangan nomensen dan belanda bekerjasama krn ada surat yg ditujukan kpd nomensen mengatasnamakan sisingamangaraja. Padahal di laporan belanda sendiri, belanda berusaha keras mengusir misionaris dr tanah batak. Dan akhirnya sukses memaksa misionaris keluar dr tanah, bersamaan dengan itu menyerang sisingamangaraja. Kesulitan belanda adalah krn misionaris2 menggunakan taktik pasang badan dan memprotes di surat2 kabar jerman yang mendiskreditkan pemerintah belanda. Pembunuhan misionaris2 juga dilakukan belanda dengan tujuan membuktikan bahwa suku yang mereka bela adalah orang barbar.
DeleteMisi penjajah adalah 3G... Gold, Gospel, dan Glory... misionaris dan penjajahan adalah satu paket.
ReplyDeleteTidak boleh Gereja memisahkan Adat...Adat Batak juga bersama dengan Gerejayang memperbaharui akhlak kita untuk menuju kesempurnaan Kristus.
ReplyDelete