suarajakarta.com |
Menyambung post saya sebelumnya tentang faktor – faktor penyebab banjir, kembali
saya akan menulis (karena mood sedang memuncak) tentang ehemm, lagi – lagi banjir.
Tentunya sebagian besar warga Jakarta sudah akrab dengan yang namanya banjir.
Akrab bukan berarti menyukai banjir tentu saja, melainkan dipaksa mengalami
banjir. Penanganan banjir tentunya tidak segampang seperti perencanaan ahli –
ahli sipil dan lingkungan di atas kertas, tetapi membutuhkan partisipasi
seluruh warga Jakarta. Ya ketidakpedulian memang menjadi momok warga Jakarta. Terutama
dari segi ketidakpedulian terhadap lingkungan. Maraknya pembuangan sampah
secara sembarangan tentu menyebabkan penumpukan sampah di tempat – tempat yang
tidak seharusnya jadi tempat sampah. Oke, kita sepakat untuk mulai peduli, jadi
kita sampingkan dulu sedikit tentang peduli dan tidak peduli.
Sebenarnya riwayat penanganan
banjir di ibukota kita, Jakarta, telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Tahun
1619, Jan Pieters Zoon Coen, salah seorang gubernur jendral di jakarta waktu
itu, telah membangun konsep Kota Air seperti di Amsterdam dengan pembuatan
kanal – kanal penampungan luapan air. Dimulai dengan Banjir Kanal dari
Manggarai sampai Muara Angke dengan pembangunan Pintu Air Manggarai dan Pintu
Air Karet. Hal ini dilakukan dengan tujuan melakukan pengendalian aliran air
dari hulu sungai dan mengatur volume air yang akan masuk ke pusat kota. Kemudian di tahun 70an, disusunlah Master Plan Pengendalian Banjir oleh
Kopro Banjir (Komandan Proyek Pencegahan Banjir) yang kemudian dikenal dengan
nama Master Plan 1973. Tujuan
utamanya adalah: Memperpanjang saluran penghubung yang sudah ada ke arah barat,
yang kemudian dikenal dengan nama Cengkareng
Drain. Dan, Membangun Saluran Kolektor di bagian timur yang kemudian
dikenal dengan nama Cakung Drain
untuk menampung aliran air dari beberapa kali di Jakarta seperti Kali sunter,
Buaran, Kramat jati, dan Cakung.
Sekarang kita maju ke tahun
2000an, di mana dimulailah proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang akan membentang
23,5 kilometer, dengan lebar rata – rata sekitar 100 meter dengan kedalaman
tiga meter. BKT direncanakan dapat menampung aliran air dari Kali Cipinang,
Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Daerah tampungan air mencapai 20.700
hektar. Pembangunan ini direncanakan akan selesai kurang dari satu dasawarsa.
Di tahun 2011 sampai dengan 2012 Pemprov Jakarta membuat program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI).
Tujuannya untuk mengeruk, merehabilitasi dinding sungai, serta pengadaan pompa
di 13 sungai dan membangun lima waduk di area pantai utara Jakarta salah
satunya. Proyek ini diharapkan
mengurangi kawasan banjir sebesar 40 persen. ( suarajakarta.com )
Dari paparan penanganan banjir di
atas sebenarnya sudah dimulai bahkan sejak zaman penjajahan. So, stop mengatakan bahwa pemerintah
tidak memikirkan penanganan banjir. Berhentilah menyalahkan pemerintah dan
mengutuki keadaan. Yang jadi masalah adalah kita dan warga Jakarta lainnya
kurang kooperatif dalam mendukung kegiatan pemerintah. Meskipun begitu saya
tidak sepenuhnya menutup mata dari kegiatan yang dilakukan pemerintah, sebab di
dalamnya banyak pihak – pihak yang bermain dengan melakukan pemotongan dana
proyek di sana – sini untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan akibatnya di
masa yang akan datang. Dari atasnya sih
sudah benar melakukan proyek sana – sini untuk menangani dan mencegah
terjadinya banjir, tapi semakin ke bawah semakin banyak potongan dananya. Lihat
Bang Yos, Foke, sampai Jokowi dan juga gubernur – gubernur sebelumnya, berusaha
untuk ‘menenangkan’ banjir, semuanya berusaha keras, bahkan sampai turun ke
lapangan memantau langsung kondisi lapangan. Tapi apalah daya mereka jika
mereka kerja sendirian, tanpa dukungan aku, kamu, mereka, anda, saudara,
saudari semua. Setidaknya mari kita bersama menjaga lingkungan, tidak usah muluk – muluk dengan menanam sejuta
pohon atau membangun drainase, kita bisa memulainya dengan membuang sampah di
tempatnya. Mungkin hasilnya tidak akan langsung kelihatan dalam beberapa hari,
tapi butuh proses panjang dan mungkin bertahun – tahun baru kelihatan hasilnya.
Tetapi setidaknya kita menunggu hal yang positif dan pasti berbuah manis. Jadi,
mungkinkah Jakarta ‘bermusuhan’ dengan banjir? Mungkin, dengan kita menyingkirkan
ketidakpedulian kita dan kemudian membuang sampah pada tempatnya.
No comments:
Post a Comment
please comment :)