peace signpeace sign New Year, New Hope!!!! peace signpeace sign

Saturday, January 19, 2013

ANTARA NOMMENSEN DAN SISINGAMANGARAJA

Sebuah Refleksi untuk Mengenal Jatidiri HKBP

PENDAHULUAN
        Penetapan tema Jubileum 150 tahun HKBP dengan judul “Mengembalikan Jati diri HKBP” dapat menjadi sebuah perdebatan dan dapat juga mendatangkan kontroversi di antara warga HKBP. Dari segi etimologi nama HKBP adalah Huria Kristen Batak Protestan yang dapat diterjemahkan dengan Persekutuan Kristen Batak Protestan. Sementara ada orang yang mengaitkan HKBP itu dengan inisial 4 orang pendeta yang mendeklarasikan berdirinya HKBP itu tgl 7 Oktober 1861, yaitu (H)eine, (K)lammer, (B)etz, dan V(P)an Aselt yang dari kesemuanya itu tidak seorangpun yang merupakan orang Batak, mereka semua adalah orang Barat (Sibontar mata).
        Ada juga yang menyatakan bahwa Hari Kelahiran HKBP sebenarnya adalah pada 31 Maret, mengingat hari itulah dibabtiskan 2 orang Batak yaitu SIMON Siregar dan JAKOBUS Tampubolon oleh Pdt G. Van Asselt. Kalau mengambil nama dari 2 orang Batak Pertama yang menjadi Kristen atau yang pertama kali menerima babtisan tersebut: dapat dipastikan bahwa kedua nama itu bukan nama yang asli, dan kita telah kehilangan kepustakaan siapa sebenarnya nama asli kedua orang itu. Lihatlah betapa kita sangat mudah kehilangan, bukankah kedua nama (asli) kedua orang itu merupakan identitas yang pantas diabadikan dalam sejarah awal HKBP, atau kalau nama asli kedua orang itu adalah SAOR dan JABAIK maka HKBP dapat diusulkan diganti menjadi HURIA SAOR JABAIK sehingga HKBP hanya berisi orang Batak yang baik-baik saja.
        Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mengembalikan jati diri HKBP berarti mengembailkan orang-orang anggota HKBP menjadi orang-orang yang baik. Dengan demikian dengan mudah orang mengenal citra atau ciri khas orang-orang HKBP yaitu orang-orang yang baik. Kalau sudah begitu di manapun dan kemanapun HKBP berada dan pergi dia pasti disukai orang banyak dan menjadi berkat bagi orang lain.

BAGAIMANA SEBENARNYA PERJUMPAAN INJIL DAN ADAT BATAK
        Banyak sudah kupasan dan ulasan tentang bagaimana perjumpaan Injil dan Budaya di tanah Batak. Diantaranya buku ADAT BATAK DAN INJIL karangan Lothar Scheiner. Namun masih belum menuntaskan bagaimana pertemuan antara Injil itu dengan adat Batak. Apakah merupakan perjumpaan yang damai atau juga dibarengi penolakan, apakah sebuah pertemuan yang manis, atau juga dengan pertempuran yang dahsyat.
        Untuk itu kita perlu mempelajari buku karangan Richard Niebuhr yang berjudul CHRIST AND CULTURE yang menyimpulkan ada 5 bentuk hubungan antara Gereja dan kebudayaan atau antara Injil dan kebudayaan. Tentu dengan menganalogikan Kristus sama dengan gereja atau Injil, dan budaya sama dengan adat.

1. Injil/gereja menentang kebudayaan, dalam bentuk hubungan ini gereja memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang buruk dan merupakan produk keberhalaan, sehingga gereja berada pada posisi diametris berlawanan dengan adat dan kebudayaan..

2. Gereja/Injil hidup di dalam dan menyatu atau larut dengan adat/kebudayaan.
Dalam hubungan ini gereja memandang kebudayaan itu cukup baik, oleh karena itu gereja tidak perlu menentang kebudayaan malah sebaliknya gereja harus mendukungnya. Dalam keadaan seperti ini gereja kehilangan misi dan jati dirinya. Hal ini dapat dibandingkan dengan dengan pengalaman Albert Kruyt di pedalaman Sulawesi yang selama bertahun-tahun enggan membabtis orang pribumi yang dilihatnya hidup dalam persekutuan komunal yang sangat baik dan kuat.

3. Gereja atau Injil berada di atas adat/kebudayaan. Dalam hubungan ini gereja berada pada posisi superior terhadap adat dan kebudayaan, kalau perlu adat dan kebudayaan itu “dibuldoser” saja.

4. Gereja/Injil hidup dalam hubungan paradoksal dengan adat/kebudayaan. Dalam pandangan ini gereja dan adat berjalan sendiri-sendiri dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda. Jadi tidak ada titik temu karena masing-masing hidup dengan aturan dan hukumnya sendiri-sendiri.

5. Gereja/Injil mentranformasikan adat/kebudayaan. Dalam hubungan ini gereja dan adat/kebudayaan itu memang tidak bisa dipisahkan dan demikian juga dalam dalam kehidupan orang Kristen, tetapi pada saat pertemuan Injil dengan adat dan kebudayaan itu, Injil harus berfungsi melakukan transformasi, melakukan perubahan atau pembaharuan, sehingga mengalami peningkatan kualitas yang baru.

“KRISIS IMAN“ DI HKBP.
        Apa yang disimpulkan oleh Richard Neibuhr di atas, semuanya terjadi dalam pertumbuhan dan pengalaman HKBP sampai masa kini, terkait dengan perilaku yang terjadi dalam hubungan antara gereja dan adat-kebudayaan. Bahkan dalam perjalanannya pernah disimpulkan bahwa ada yang salah dalam sikap gereja terhadap adat yang pada perjumpaannya bersifat menentang budaya secara diametris sehingga budaya orang Batak terkikis dan orang Kristen Batak kehilangan jati dirinya. Hal ini terjadi karena secara umum umat HKBP dipandang kurang atau sangat kurang menghayati Injil, yang terbukti dari sikap hidup yang masih didominasi perilaku keberhalaan, yaitu hosom, teal, late, hidup dalam perbantah-bantahan (konflik) yang laten seperti tidak ada akhirnya. Sehingga saat itu disepakati melaksanakan ibadah dengan kembali pada cara ritual nenek moyang yang waktu itu disebut “Theologia in Loco”. Tapi ternyata setelah dipilot-proyekkan mengalami kegagalan dan harus dihentikan karena bukan menjadi jawaban atas persoalan krisis iman itu. Dengan kata lain “krisis iman” di kalangan HKBP bukan pada bentuk ritualnya.
        Kalau dihubungkan dengan hasil penelitian Rihard Neibuhr itu yang kurang dalam pertemuan Injil dan adat di tanah Batak adalah kurang terjadinya tranformasi nilai dalam sikap hidup dan perilaku.

JATI DIRI HKBP BERADA ANTARA NOMMENSEN DAN SISINGAMANGARAJA
        Tidak dapat disangkal bahwa bahwa tokoh sentral dalam sejarah perjumpaan antara Injil dan adat di tanah Batak adalah Nommensen dan Sisingamangaraja, yang satu digelari sebagai “Rasul” bagi orang Batak, dan mengabdi di tanah Batak sampai akhir hidupnya dan yang satu memiliki kharisma spiritual, gugur di tangan tentara penjajah Belanda dan setelah merdeka dianugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.
        Ada orang yang beranggapan bahwa setelah peristiwa yang paling dahsyat dalam sejarah HKBP yang terjadi pada pergolakan tahun 1992 -1998, para pemuka dan warga HKBP sudah kapok, sudah jera, atau secara bahasa teologianya sudah bertobat. Itu masih harus diuji supaya kita tidak lengah dan terantuk lagi untuk kesekian kalinya kepada batu yang sama.
        Tapi yang jelas bahwa dalam diri HKBP sebagai intitusi gereja atau dalam diri umat HKBP terlihat belum selesai pergolakan menemukan jati dirinya seperti belum terselesaikannya konflik antara kedua tokoh sentral itu yaitu Nommensen dan Sisingamangaraja. Walaupun kedua tokoh ini tidak langsung berkonfrontasi, tetapi secara terselubung konflik antara keduanya menjadi gambaran masalah perjumpaan Injil dan adat Batak. Keadaan ini dapat ditelusuri dengan jelas pada buku karangan Prof. Dr. W.B.Sijabat yang berjudul “AHU SISINGAMANGARAJA”.
        Ternyata perjumpaan ini bukan perjumpaan yang lunak dan manis saja, di sana ada kekerasan, di sana ada penolakan, di sana ada konflik. Sebab sedikitnya tercatat korban pembunuhan terhadap Pdt. Munson dan Lyman yang diberitakan “dimakan “ oleh orang Batak. Bahkan Nommensenpun hampir saja menjadi tumbal karena dipandang membawa malapetaka. Dan tidak lepas dari pergolakan itu adalah korban Sisingamangaraja yang menjadi tumbal kemerdekaan Republik Indonesia.
        Kalau kami mengatakan bahwa jati diri HKBP berada diantara Nommensen dan Sisingamangaraja ini, tentu tidak berada pada status quo, hal ini tetap dalam poerkembangan yang progressif yang akan diselesaikan oleh sejauh mana Injil itu mentransormasikan adat dan kebudayaan. Oleh karena itu Gereja tidak boleh berada dalam kemandegan, dia harus berada dalam posisi dan kondisi proses pembaharuan terus-menerus seperti semboyan reformasi yang berbunyi “Ekklesia Reformata, Ekklesia Semper reformanda”. Yang artinya “Gereja reformasi harus senantiasa terus menerus mereformasi diri”, tentu menuju kesempurnaan Kristus.
        Patutlah kiranya hal ini menjadi acuan dalam segala bentuk kegiatan atau perayaan Jubileum 150 tahun HKBP. Jangan sampai kita terjebak pada semboyan yang kosong karena dalam pelaksanaannya tidak diimplementasikan.
Selamat berjubileum!

Ditulis khusus buat Buletin NHKBP “CONCIENTIA” oleh St.L.H.Simanjuntak, Mantan Guru Huria HKBP Yogyakarta/Sekum PGI Wilayah D.I.Y/Wakil Ketua FKUB Prov.DIY.
Dapat dibaca kembali pada buletin Conscientia HKBP Yogya edisi Mei 2011.

7 comments:

  1. injil tidak pernah menentang kebudayaan, tapi memberi pengertian tentang budaya yang kita ikuti..

    ReplyDelete
  2. injil tidak pernah menentang kebudayaan, tapi memberi pengertian tentang budaya yang kita ikuti.

    ReplyDelete
  3. Injil tidak pernah menjajah dan menyuruh nomensen bekerja sama dengan belanda.CAM KAN ITU!!! Bahkan Nomensen n Belanda bekerjasama pd saat itu untk melakukan pembantaian di tanah batak.Serta melakukan penjajahan di tanah batak. Jngn kau sebut namamu Batak saat kau memuja prng asing yg menindas orang batak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pandangan nomensen dan belanda bekerjasama krn ada surat yg ditujukan kpd nomensen mengatasnamakan sisingamangaraja. Padahal di laporan belanda sendiri, belanda berusaha keras mengusir misionaris dr tanah batak. Dan akhirnya sukses memaksa misionaris keluar dr tanah, bersamaan dengan itu menyerang sisingamangaraja. Kesulitan belanda adalah krn misionaris2 menggunakan taktik pasang badan dan memprotes di surat2 kabar jerman yang mendiskreditkan pemerintah belanda. Pembunuhan misionaris2 juga dilakukan belanda dengan tujuan membuktikan bahwa suku yang mereka bela adalah orang barbar.

      Delete
  4. Misi penjajah adalah 3G... Gold, Gospel, dan Glory... misionaris dan penjajahan adalah satu paket.

    ReplyDelete
  5. Tidak boleh Gereja memisahkan Adat...Adat Batak juga bersama dengan Gerejayang memperbaharui akhlak kita untuk menuju kesempurnaan Kristus.

    ReplyDelete

please comment :)